Langsung ke konten utama

Apa sih GolPut itu?????


Sering sekali kita mendengar celetukan-celetukan jelang pemilu baik pemilihan legislatif ataupun pemilihan kepala daerah. Ketika ditanya mau milih apa nanti waktu pemilu? Terdengar jawaban, “Golput aelah”. Hal ini tanpa kita sadari biasanya membawa dampak yang begitu besar dalam kehidupan berpolitik dalam pemerintahan.
Mengapa demikian?
Karena dengan golput kita menjadi tidak tahu kemana arah pemerintahan akan dibawa. Dengan menggunakan hak pilihnya diharapkan setiap pemilih harus mengetahui siapa sosok pemimpin yang layak dipilih, dan siap melayani, bukan minta dilayani. Dengan memilih akan berperan menentukan pemimpin yang baik dan bisa turut berperan serta dalam legimitasi pemerintahan.
Dewasa ini semakin banyak sekali angka GolPut yang muncul dalam setiap pemilihan, terlebih angka GolPut itu muncul dari para pemuda/pelajar yang notabene adalah pemilih pemula. Banyak sekali alasan yang muncul ketika mereka lebih memilih untuk GolPut. Dalam sebuah riset yang pernah dilakukan oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat menyebutkan bahwa hal ini disebabkan karena minimnya sosok pemimpin yang menjadi idaman mereka atau kurang mengapresiasi terhadap pemuda/pelajar, ungkap Mazziyatul Hikmah, M.HI., seorang aktivis di Organisasi Pelajar yang ada di Kota Malang.
Golongan putih atau yang dikenal dengan istilah golput telah menjadi adagium politik modern yang banyak diperbincangkan. Istilah ini dilekat pada pilihan politik individu dan masyarakat yang tidak turut menyumbangkan suara dalam bentuk mencoblos pada saat pemilu ataupun kegiatan politik lainnya. Para ahli dan teorisasi politik melihat ini sebagi aksi politik (political action) yang memiliki ekses penyimpangan dan pertentangan terhadap eksistensi demokrasi. Sebagain besar sarjana ilmu politik memberikan tesis bahwa golput berdampak secara negatif atas pertumbuhan demokrasi.
Pada Juli 2012 lalu, The Guardian merilis hasil penelitian Democratic Audid yang dilakukan oleh Stuart Wilks-Heeg, yang kemudian laporannya berjudul British democracy in terminal decline, warns report. Dalam laporannya, Wilks menemukan hanya 1 (satu) persen dari total pemilih yang menentukan pilihan partai politik sebelum datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Dan hanya 6 dari 10 pemilih yang memiliki hak pilih mendatangi TPS untuk memilih.  selanjutnya kata Wilks, golput didominasi oleh kelompok menengah keatas, bukan oleh kelompok apatisme politik yang muncul dari kelas bawah.
Apa yang disampaikan Wilks menunjukan golput sebagai pilihan politik tidak selalu datang atas alasan rasional politik warga. Rakyat yang tidak sejahtera, miskin dan tertinggal belum tentu akan melakukan pilihan tindakan golput. Justru jika kita perhatikan kelompok inilah yang paling antusias menyambut pemilu dengan berbagai macam seremoninya. Artinya, pilihan untuk golput tiadk berdasarkan argumuntasi ekonomi (baca: perut) oleh warga negera.
Dari kacamata ini, mari kita melihat fenomena golput sebagai tindakan politik warga. Para ahli politik berpendapat, golput dapat mengganggu stabilitas demokrasi karena minimnya partisipasi. Teorinya: demokrasi yang baik adalah apabila diikuti oleh keikutsertaan publik-politik warga secara aktif. Namun perlu diingat, kualitas demokrasi tidak serta merta diukur oleh takaran dan ukuran dalam jumlah yang paling banyak (mayoritas). Jika demokrasi selalu diartikan sebagai “kemenangan mayoritas” maka dalam setiap pemilu pasca reformasi golput adalah pemenangnya. Demokrasi yang selalu mencari bentuk pada jumlah mayoritas inilah yang sebenarnya menjadi ancaman bagi proses demokratisasi. Demokrasi berbicara tentang prosedur dan mekanisme pemerintahan dijalankan. Bukan jumlah. Dan konsep demokrasi liberal yang dianut Indonesia mensyaratkan pada suara mayoritas:suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei). Persoalannya, rakyat yang mana, dan seperti apa yang memiliki mandatori untuk melegitimasi pemerintahan “dari rakyat,oleh rakyat,untuk rakyat”.
Hal mendasar yang ingin saya sampaikan di sini adalah, golput yang terjadi di Indonesia saat ini bukan atas  dasar pilihan politik rasional warga sebagai akibat dari berbagai fenomena penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat negara. Tetapi golput adalah sebagai akibat dari tidak berkerjanya prinsip-prinsip demokrasi sedari awal pada seluruh lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat juga tidak memahami pentingnya partisipasi politik dalam era demokrasi. Oleh karena itu, golput bukanlah tindakan politik yang dilakukan secara sadar berdasarkan pertimbangan-pertimbangan politik oleh warga ngara.
Dalam hal ini peran pemuda sangatlah penting utnutk menekan angka Golput tersebut. Karena sebagai pemuda kita lebih “Fresh” dalam menentukan pilihan serta arah kebijakan politik Negara Indonesia untuk kedepan dan menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa menerapkan Demokrasi secara terbuka seperti apa yang diinginkan oleh Rakyat Indonesia pada awal era Reformasi 1998. (Alsyah)

Komentar

Postingan Populer